Definisi Cerpen
9:10 PM Edit This 1 Comment »Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel.
Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis.
Cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan singkat yang dengan cepat tiba pada tujuannya, dengan parallel pada tradisi penceritaan lisan. Dengan munculnya novel yang realistis, cerita pendek berkembang sebagai sebuah miniatur, dengan contoh-contoh dalam cerita-cerita karya E.T.A. Hoffmann dan Anton Chekhov.
Sebenarnya, tidak ada rumusan yang baku mengenai apa itu cerpen. Kalangan sasterawan memiliki rumusan yang tidak sama. H.B. Jassin –Sang Paus Sastra Indonesia- mengatakan bahwa yang disebut cerita pendek harus memiliki bagian perkenalan, pertikaian, dan penyelesaian. A. Bakar Hamid dalam tulisan “Pengertian Cerpen” berpendapat bahwa yang disebut cerita pendek itu harus dilihat dari kuantitas, yaitu banyaknya perkataan yang dipakai: antara 500-20.000 kata, adanya satu plot, adanya satu watak, dan adanya satu kesan. Sedangkan Aoh. KH, mendefinisikan bahwa cerpen adalah salah satu ragam fiksi atau cerita rekaan yang sering disebut kisahan prosa pendek. Dan masih banyak sastrawan yang merumuskan definisi cerpen. Rumusan-rumusan tersebut tidak sama persis, juga tidak saling bertentangan satu sama lain. Hampir semuanya menyepakati pada satu kesimpulan bahwa cerita pendek atau yang biasa disingkat cerpen adalah cerita rekaan yang pendek.
1.1 Jenis Cerpen
Jenis-jenis cerpen ada 3, yaitu :
Cerpen Kedaerahan
Contoh : - Rumah Untuk Kemenakan
- Gampong
- Orang Kaya Baru, dll
Cerpen Nasional
Contoh : - Jalan Soeprapto
- Jiwa Yang Terguncang
- Senyuman Terakhir, dll
Cerpen Pop
Contoh : - Perempuan Disimpang Tiga
- Roda Kehidupan
- Pelabuhan Makin Jauh
- Anggap Aku Bulan
- Kisah Dikantor Pos, dll
1.2 Anatomi Cerpen
Setelah mengerti betul definisi cerpen, karakteristik cerpen dan unsur-unsur yang wajib ada dalam membangun cerpen, maka sejatinya Anda sudah sangat siap untuk menciptakan sebuah cerpen. Sebelum menulis cerpen ada baiknya anda mengetahui anatomi cerpen atau bisa juga disebut struktur cerita. Umumnya anatomi cerpen, apapun temanya, di manapun settingnya, apapun jenis sudut pandangan tokohnya, dan bagaimanapun alurnya memiliki anatomi sebagai berikut:
1. Situasi (pengarang membuka cerita)
2. Peristiwa-peristiwa terjadi
3. Peristiwa-peristiwa memuncak
4. Klimaks
5. Anti Klimaks
Atau, komposisi cerpen, sebagaimana ditandaskan H.B.Jassin dapat dikatakan sebagai berikut:
1. Perkenalan
2. Pertikaian
3. Penyelesaian
Cerpen yang baik adalah yang memiliki anatomi dan struktur cerita yang seimbang. Kelemahan utama penulis cerpen pemula biasanya di struktur cerita ini.
BAB 2
KARAKTERISTIK CERPEN
2.1 Unsur-unsur Cerpen
Unsur-unsur yang terdapat pada cerpen ada 2, yaitu :
a. Unsur Intrinsik
Unsur Intrinsik adalah unsur yang mendukung dari dalam tubuh cerita tersebut. Bagian-bagian unsur interinsik antara lain, :
1.. Tema :
Yaitu gagasan inti. Dalam sebuah cerpen, tema bisa disamakan dengan pondasi sebuah bangunan. Tidaklah mungkin mendirikan sebuah bangunan tanpa pondasi. Dengan kata lain tema adalah sebuah ide pokok, pikiran utama sebuah cerpen; pesan atau amanat. Dasar tolak untuk membentuk rangkaian cerita; dasar tolak untuk bercerita.
2. Amanat :
Yaitu pesan atau amanat yang ingin di sampaikan pengarang dalam bentuk tulisan.
3. Alur atau plot :
Yaitu rangkaian peristiwa yang menggerakkan cerita untuk mencapai efek tertentu atau sambung sinambungnya suatu cerita, dimana tidak hanya menjelaskan kenapa hal itu terjadi, tetapi juga menjelaskan bagaimana hal itu terjadi.
Adapun jenis plot bisa disederhanakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Plot keras, jika akhir cerita meledak keras di luar dugaan pembaca. Contohnya: cerpen-cerpen Anton Chekov, pengarang Rusia legendaris, cerpen-cerpen Trisnoyuwono yang terkumpul dalam Laki-laki dan Mesiu, cerpen-cerpen Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulannya Kejantanan di Sumbing.
2. Plot lembut, jika akhir cerita berupa bisikan, tidak mengejutkan pembaca, namun tetap disampaikan dengan mengesan sehingga seperti terus tergiang di telinga pembaca. Contoh, cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam, cerpen-cerpen Danarto dalam Godlob, dan hampir semua cerpen Guy de Maupassant, pengarang Perancis menggunakan plot berbisik.
3. Plot lembut-meledak, atau plot meledak-lembut adalah campuran plot keras dan lembut. Contoh: cerpen Krawang-Bekasi milik Gerson Poyk, cerpen Bulan Mati karya R. Siyaranamual, dan cerpen Putu Wijaya berjudul Topeng bisa dimasukkan di sini.
Adapun jika kita melihat sifatnya, maka ada cerpen dengan plot terbuka, plot tertutup dan cempuran keduanya. Jadi sifat plot ada kalanya:
1. Terbuka. Jika akhir cerita merangsang pembaca untuk mengembangkan jalan cerita, di samping masalah dasar persoalan.
2. Tertutup. Akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneruskan jalan cerita. Contoh Godlobnya Danarto.
3. Campuran keduanya.
4. Penokohan :
Yaitu penciptaan citra tokoh dalam cerita. Tokoh harus tampak hidup dan nyata hingga pembaca merasakan kehadirannya. Dalam cerpen modern, berhasil tidaknya sebuah cerpen ditentukan oleh berhasil tidaknya menciptakan citra, watak dan karakter tokoh tersebut. Penokohan, yang didalamnya ada perwatakkan sangat penting bagi sebuah cerita, bisa dikatakan ia sebagai mata air kekuatan sebuah cerita pendek.
Pada dasarnya sifat tokoh ada dua macam; sifat lahir (rupa, bentuk) dan sifat batin (watak, karakter). Dan sifat tokoh ini bisa diungkapkan dengan berbagai cara, diantaranya melalui:
1. Tindakan, ucapan dan pikirannya
2. Tempat tokoh tersebut berada
3. Benda-benda di sekitar tokoh
4. Kesan tokoh lain terhadap dirinya
5. Deskripsi langsung secara naratif oleh pengarang
5. Latar atau setting :
yaitu segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana dalam suatu cerita. Pada dasarnya, latar mutlak dibutuhkan untuk menggarap tema dan plot cerita, karena latar harus bersatu dengan tema dan plot untuk menghasilkan cerita pendek yang gempal, padat, dan berkualitas.
6. Sudut Pandang Pengarang :
Diantara elemen yang tidak bisa ditinggalkan dalam membangun cerita pendek adlaah sudah pandangan tokoh yang dibangun sang pengarang. Sudut pandangan tokoh ini merupakan visi pengarang yang dijelmakan ke dalam pandangan tokoh-tokoh bercerita. Jadi sudut pangan ini sangat erat dengan teknik bercerita.
Ada 4 macam sudut pandang dalam bercerita :
1. Sudut pandang dari Yang Maha Kuasa : Pengarang seolah –olah maha tau, pengarang ini menggambarkan semua tingkah laku para tokoh dan juga mengerti apa yang dikerjakan oleh tokoh.
2. Sudut pandang dari Orang pertama : Pengarang menggunakan gaya akudalam bercerita, sipengarang disini tidak tidak mewakili dari pribadinya tetapi seluruh ceritanya itu tergantung pada watak tokoh aku.
3. Sudut pandang dari Orang ketiga atau peninjau : seorang pengarang menggunakan gaya dia dalm bercerita, sudut pandang ini gabungan dari Yang Maha Kuasa dan Aku yang dapat melukiskan jiwa dia tapi tidak dapat melukiskan yang lain.
4. Sudut pandang Objektif : Pengarang bertindak seperti dalam sudut pandang Yang Maha Kuasa, tetapi pengarang tidak sampai menuliskan bathin tokoh-tokoh yang ada dalam cerita.
7. Gaya Bahasa :
Yaitu cara khas pengungkapan seseorang, hal ini tercermin dalam pengarang memilih kata-kata, tema, dan memandang persoalan.
Gaya Bahasa ada 2:
1. Gaya pengarang dalam bercerita
Gaya pengarang dalam bercerita biasanya menggunakan sudut pandang yang sudah dijelaskan didepan tadi.
2. Gaya Bahasa pengarang dalam bercerita.
Gaya bahasa pengarang dalam bercerita diperlukan karena untuk memperkuat daya lukis agar tercapai efek yang dikehendaki. Biasanya pengarang menggunakan kata-kata khusus karena semakin umum istilah yang dipakai, semakin kabur gambaran cerita yang kita sajikan. Sebaliknya semakin khusussemakin hidup lukisan gambaran ceritanya. Makna-makna khusus tersebut terdapat pada bahasa yang menggunakan majas. Gaya bahasa yang sering dipakai dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Gaya Bahasa Perbandingan
Gaya bahasa perbandingan dapat dibagi menjadi 5, yaitu :
1. Majas Perumpamaan / Asosiasi
yaitu gaya bahasa yang memperbandingkan benda yang satu dengan benda yang lain dengan apa yang dilukiskan. Contoh :
Bibirnya merah bagai buah delima.
Kedua anak itu seperti pinang dibelah dua.
2. Majas Metafora
yaitu gaya bahasa perbandingan yang singkat dan padat yang dinyatakan secara implisit. Contoh :
Pukul delapan malam dewi malam mulai memancarkan sinarnya.
Si jago merah telah melalap rumah itu.
3. Majas Personifikasi
yaitu gaya bahasa yang menggambarkan benda-benda tak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat seperti manusia. Contoh :
Angin semilir menerpa mukaku.
Pohon nyiur melambai-lambai dipantai.
4. Majas Alegori
yaitu gaya bahasa perbandingan yang biasa memakai cerita untuk simbol-simbol untuk menyampaikan maksud tertentu. Contoh :
Orang itu bagaikan kancil.
Orang itu termenung seribu satu malam.
5. Majas Pleonasme
yaitu gaya pemakaian bahasa secara berlebih-lebihan.
Saya melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri.
Walau keadaannya gelap gulita dia masih tetap meneruskan perjalanannya.
b. Gaya Bahasa Pertentangan
Gaya bahasa pertentangan dapat dibagi menjadi3, yaitu :
1. Majas Hiperbola
yaitu gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan dengan maksud memberi penekanan. Contoh :
Kini hidupnya benar-benar bermandikan uang.
Air matanya menganak sungai.
2. Majas Litotes
yaitu gaya bahasa pertentangan yang biasa memakai pernyataan untuk memperkecil sesuatu. Contoh :
Terimalah hadiahku yang sederhana ini.
Kalau sampai disana mampirlah kegubukku.
3. Majas Ironi
yaitu gaya bahasa pertentangan yang mengungkapkan pernyataan pertentangan dengan maksud mencemoh. Contoh :
Bagus sekali tulisanmu sampai-sampai aku tidak bisa membacanya.
Rapi benar kamarmu seperti kapal pecah.
c. Gaya Bahasa Pertautan
Gaya bahasa pertautan dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Majas Sinekdoke
2. Majas Metonimia
yaitu gaya bahasa dengan menggunakan nama cirri atau nama hal yang ditautkan dengan orang atau barang.
Sambil mengisap djarum dalam-dalam dibukanya lembaran-lembaran kompas.
Selain majas-majas yang disebutkan diatas juga ada jenis majas yang lain, misalnya :
1. Majas Eufemisme
yaitu gaya bahasa yang menggunakan bahasa sebagai pengganti kata lain dengan maksud untuk memperhalus atau menghindari hal-hal tabu. Contoh :
Para TKI ilegal banyak yang diamankan oleh pihak keamanan Malaysia.
2. Majas Alusio
yaitu gaya bahasa yang merujuk pada suatu karya sastra, tokoh, atau suatu peristiwa. Contoh :
Dia sering bersifat kura-kura dalam perahu, sudah tahu tapi masih saja bertanya.
3. Majas Repetisi
yaitu gaya bahasa dengan melakukan pengulangan kata atau kelompok kata. Contoh :
Mengapa harus putus asa? Aku masih muda dan kuat! Mengapa harus putus asa? Mengapa harus putus asa?
4. Majas Klimaks
yaitu gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang makin lama makin mengandung penekanan. Contoh :
Jangankan uang, rumah, harta kekayaan, nyawa pun akan kukorbankan demi kebaikan keluarga.
Sejak lahir, bayi, balita, remaja ibunya sendiri yang mengasuhnya.
b. Unsur Ekstrinsik
Unsur Ekstrinsik adalah unsur yang mendukung dari luar cerita tersebut. Contoh unsur-unsur ekstrinsik, yaitu :
1. Biografi Pengarang
2. Sosial Budaya
3. Moral
4. Agama
Cerpen – Gerai Pisang Goreng Abah – Dewan Sastera Okt 2007 GERAI PISANG GORENG ABAH
AINUNL MUAIYANAH SULAIMAN
DEWAN SASTERA OKTOBER 07 (Sisipan Tunas Cipta)
Abah berniaga pisang goreng berdekatan rumah kami sebagai punca pendapatannya. Gerai abah sudah terlalu lama dibina. Sejak kami kecil lagi malah gerai kecil itu sudah ada ramai pembeli setia dan tetap yang tergoda dengan resipi pisang goreng abah.
Abah mengadun tepung pisang goreng dengan resipi keluarga turun-temurun. Abah randau dengan rempah terpilih. Malah abah begitu teliti memilih jenis pisang untuk digoreng menjadikan gerai pisang goreng abah begitu terkenal di kawasan kami. Kami semua membesar dengan jasa gerai pisang goreng itu.
Ketika mula-mula abah ingin membuka gerai, kami bergotong-royong membina gerai itu dengan kudrat yang sedikit. Walaupun hanya sekadar mampu mengangkat sebatang dua kayu, namun kami adik-beradik tetap mahu membantu meneguhkan pasak gerai abah.
Benar, abah tidak cukup modal mulanya. Malah abah masih berat hati mahu membuka gerai itu. Mulanya abah hanya sekadar mahu menjadi pekebun sahaja. Keluarga abahlah yang gigih menggalakkan abah membuka gerai pisang goreng yang menggunakan resipi keluarga itu. Mereka menghulurkan modal dari segi tenaga dan wang. Semuanya kerana hanya abah sahaja yang ingin memperjuangkan resipi turun-temurun pisang goreng keluarga. Kalau tidak abah siapa lagi?. Tentu bukan sesiapa kerana ramai adik-beradik abah yang merantau mencari rezeki di negeri orang dan dan tidak berminat bekerja di kampung. Abah juga yang masih setia di rumah warisan keluarga itu. Abah menjaga dan memelihara segala harta pusaka keluarga di kampung itu.
Resipi pisang goreng abah menjadikan pisang itu begitu enak dan terasa lemak. Kerak kekuningan yang menyaluti pisang goreng itu yang di gemari pembeli. Tepungnya sangat rangup dan masih bersifat begitu juga biarpun sudah sejuk. Itulah yang menjadikan pisang goreng abah unik pada darjah tersendiri
Masa berlalu dan kami semakin dewasa. Abah masih tetap tabah di gerai pisang gorengnya. Jasa gerai itulah yang menghantar kami ke menara gading. Menyara hidup kami sekeluarga. Walaupun kini abah sudah tidak perlu lagi bekerja, abah masih berdegil juga. Bagi abah gerai dan dirinya memang tidak boleh dipisahkan.
Masa juga menyaksikan kepesatan tempat kami. Pembinaan universiti berhampiran tempat kami menyumbang pembinaan kompleks membeli belah. Kompleks itu lambang kemegahan tempat kami walhal pemiliknya bukan orang kami dan lot-lot kedai di kompleks itu bukannya disewa oleh orang kampung kami. Namun orang di sini tetap bermegah dan mendabik dada apabila mampu membeli-belah di sana.
Sesekali apabila kami punya masa, kami sekeluarga akan meluangkan masa ke kompleks membeli belah itu. Membawa abah dan ibu bersama. Suatu hari, abah membeli pisang goreng yang dijual di satu kedai eksklusif yang di dekorasi indah di kompleks itu. Usai menjamah abah merungut panjang. Katanya pisang goreng di kedai eksklusif itu tidak sedap. Kami semua tergelak besar. Dalam ajnas pilihan makanan di kedai itu, pisang goreng juga yang abah pilih.
Kata abah lagi, penjual itu tidak menjual dengan niat yang benar-benar ikhlas. Menjual hanya untuk untung . Sudahlah harga pisang gorengnya mahal, pisangnya kecil dan tidak berkualiti pula. Kasihan benar pembeli. Tertipu dengan hiasan luar indah tetapi makanan tidak setanding harganya.
Prinsip abah dalam menyediakan makanan sangat optimis. Abah berpegang pada firman Allah S.W.T. dalam surah al-Nahl ayat 114 “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepadaNya saja menyembah.”
Abah sering menegaskan pada kami makanan adalah sumber pembentukan dan penguat tubuh badan yang berkait-paut dengan memelihara kesempurnaan ibadat dan kesucian hati nurani berlandaskan hadis Rasulullah “anda adalah apa yang anda makan”. Kalau sumber makanan sudah bercampur halal dan haram, hati akan bertambah gelap dan lebih cenderung menjauhi amal dan mendekati mungkar.
Kami memang terdidik sedemikian rupa. Abah begitu tegas menjaga pemakanan kami. Malah abah lebih gemar makan masakan ibu di rumah berbanding membawa kami makan di luar. Tambah abah lagi, apabila kita makan di rumah, kita lebih mengetahui penyediaan makanan kita bersih atau tidak. Malah mak digalakkan membaca doa melembutkan hati anak ketika menyediakan makanan kami.
Abah menasihati kami apabila memilih makanan biarlah teliti. Makanan itu mestilah sahih kehalalannya tanpa syubhah, berkhasiat malah penyediaan dibuat dengan berseni serta dalam suasana yang bersih. Alhamdulilah, ketegasan abah berjaya mendidik kami dalam ketelitian memilih makanan. Pulangannya, kami tidak mudah jatuh sakit dan cerdas-cerdas semua semasa proses membesar.
Ketelitian dan kata-kata abah dalam pemakanan benar-benar mengagumkan kami. Abah hanya sekadar anak kampung yang mempelajari resipi makanan daripada nenda. Rujukan abah berlandaskan al-Quran dan hadis. Lebihnya hanya terletak apabila abah gemar membaca dan kegilaannya pada buku yang diiturunkan juga kepada kami.
Sayangnya abah tidak belajar tinggi . Kalau tidak mesti abah menjadi seorang instruktor makanan bertauliah dan keluarga kami boleh menjadi kaya raya dan terkenal seperti Chef Wan , gurau kami pada waktu makan malam bersama seperti kelaziman. Abah senyum dan membalas
” Rezeki yang Allah beri sudah lebih dari cukup memberi kehidupan pada kita.”
Apabila abang Ngah menyuarakan hasrat membuka perniagaan makanan. Abah menegaskan lagi dengan firman Allah S.W.T. dalam surah Taha ayat 81 “Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaanKu menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaanKu, maka sesungguhnya binasalah ia.”
Abah bukan tidak suka abang Ngah menceburi bidang itu namun tanggungjawabnya sebagai peniaga muslim sangat besar. Abah bangga dengan kesungguhan abang ngah walaupun dalam ketegasan nasihatnya. Abah tidak mahu abang ngah melanggar etika sebagai seorang Islam dan lebih memandang keuntungan material serta mengamalkan prinsip matlamat menghalalkan cara seperti sesetengah peniaga. Perniagaan makanan itu adalah ibadah dan jangan sesekali mengkhianati diri sendiri dan ibadat kita. Abah noktahkan di situ.
Sejak kebelakangan ini, kami menyedari Tuan Teh sering datang berkunjung ke rumah kami. Abah berkenalan tanpa sengaja dengan Tuan Teh ketika sibuk mengomel pisang goreng kedai eksklusif itu. Tuan Teh adalah pemilik kedai itu. Mujur Tuan Teh tidak marah dan menerima teguran itu dengan senang hati. Semenjak hari itu Tuan Teh makin akrab dengan abah.
Mereka sering bertukar-tukar cerita di anjung rumah. Sesekali Tuan Teh mengajak abah ke kedainya atau ke rumahnya. Kami melihat kesenangan hati abah tanpa rasa curiga biarpun setitis.
Suatu petang minggu semasa kudapan abah mengejutkan kami sekeluarga.
“Abah akan bergabung niaga dengan Tuan Teh.”
Kami bertingkah pandang. Kami terkesima tanpa kata. Beberapa minit selepas itu, berhamburan soal dan hujah dari kami. Kami membantah dengan segala jutaan sangka.
Kami tegaskan Tuan Teh pasti punya agenda sendiri. Tentu dia ada kepentingan tertentu sehingga mahu mengajak peniaga kecil seperti abah bergabung niaga. Tuan Teh pasti dapat melihat keistimewaan resipi abah dan mungkin akan mencuri idea resipi abah secara diam-diam kemudian menyingkirkan abah setelah berjaya. Seisi rumah berantakan membantah rancangan abah.
Abah memandang kami satu-satu dengan pandangan yang jernih dan dalam. Abah tidak bersuara langsung. Petang itu menyaksikan abah lebih diam dari bicaranya. Kami terdera dengan sikap abah.
Keesokan harinya sebelum masing-masing berangkat pulang, kami memujuk abah lagi. Abah masih diam. Saat kami semua ingin melangkah pergi, ayah berkata dengan nada suaranya yang rendah
“Kalau tidak bergabung dengan Tuan Teh, gerai itu pasti akan terkubur juga. Tiada siapa yang mahu mewarisinya. Hanya sekadar gerai pisang goreng abah”
Sebilah belati tertusuk di di dada kami. Halus dan paling dalam
Tuan Teh makin kerap datang selepas kejadian itu. Hati kami makin bergoncang. Sungguh, kami sayang pada gerai kecil abah. Gerai itu lambang kegigihan ayah pada masa silam membangunkan perniagaannya. Kami khuatir Tuan Teh bersikap talam dua muka yang akhirnya membawa kerugian di pihak abah. Itu yang abah tidak faham.
Pada suatu petang, kami adik-beradik berkumpul di rumah pusaka itu. Ketika itu abah tiada.
“Dayus benar kalau kita sokong abah bergabung dengan Tuan Teh. ” tegas Kak Long memulakan bicara.
“Gerai itu lambang perjuangan abah dalam mempertahankan resepi keluarga. Abang ngah memang tak setuju.”
Kami membantah bersebab. Bukannya semberono sebarangan. Gerai itu abah bangunkan dengan perit jerih. Apakah Tuan Teh akan selandasan dengan prinsip abah dalam penyediaan makanan. Kami kesal juga apabila abah mudah terpengaruh pada kata-kata manis bergula Tuan Teh.
Tanpa sengaja, aku bersuara
“Kalau abah tidak bergabung, siapa yang akan menguruskan dan mewarisi gerai abah?”
Semua terdiam. Kami rasa cukup bersalah. Kata-kata abah biarpun segaris tetapi sangat terkesan dalam hati. Kak Long dan Abang Ngah sudah punya kehidupan mereka tanpa perlu bergantung harap pada gerai abah. Aku dan Uteh pula sudah berada di pusat pengajian tinggi. Bidang perniagaan bukannya dispilin ilmu kami
Akhirnya kami mengakui. Kami galak membantah tetapi kami terlupa kata-kata abah lebih benar daripada bantahan kami. Inilah silap kami, asal berkata tanpa fikir.
Abah makin sibuk mencanang cerita proses penggabungannya dengan Tuan Teh. Kami mendengar dengan rasa penuh sayu. Abah, apakah yang ada di hatimu? Tindakan abah benar-benar bercanggah dengan prinsip dan ajaran yang abah semai di hati kami. Sungai yang mengalir tenang itulah ibarat hati abah. Permukaannya tampak tenang dan mendamaikan. Gelora dan olak derita di dalamnya tidak pula kami ketahui.
Pagi itu Tuan Teh datang membawa dokumen perjanjian perniagaan bersamanya. Abah panggil kami adik beradik . Kata abah , dia mahu kami semua menjadi sebagai saksi penggabungan itu.
Semasa abah ingin menurunkan tanda tangan. Abang Ngah tiba-tiba meluru dan menghalang. Guratan warna biru gerau tergaris di belakang tapak tangan abang Ngah.
Tuan Teh tersentak. Abah terpana
“Abah, biarlah kami ambil alih gerai abah. Biarlah kami uruskan semua. Kamilah pewaris gerai itu.”
Air mata kami berhamburan saat itu. Abah renung mata abang Ngah. Abah letakkan pen itu. Di hadapan kami, abah merafak syukur.
Ini cerpen dua muka. Ada maksud dan isu semasa cerpen ini ditulis. Aku akan membiarkan pembaca cerpen ini menilai isu apa yang aku cuba bangkitkan ketika menulis cerpen ini. Cerpen ini ditulis pada bulan januari 07 ketika isu hangat di Malaysia muncul dan akhirnya perkara yang direncana itu tidak menjadi kenyataan. Sebenarnya bahagian kedua cerpen ini aku tulis semula kerana komputer dilanda virus ketika itu dan aku sebenarnya tidak tahu mana versi yang baik kerana aku agak tergesa-gesa menyiapkan penyudahan cerita ini. Sesiapa yang dapat mencari isu mana yang aku utarakan, aku akan email dia secara peribadi dan memberi peluang membaca cerpen terbaru yang aku tulis. Aku rasa cerpen ini aku banyak bermain dengan plot dan cerita daripada mengutamakan bahasanya seperti lewat cerpen Mencari Qudwah dan Rahsia Hatimu. Mungkin ketika itu aku lebih mahu menonjolkan isu berbanding dengan olahan bahasanya. Harap, kawan-kawan dapat member komentar untuk cerpen ini terutamanya orang yang meminta cerpen ini di siarkan. Cerpen ini akan di diskusikan oleh Dr Mawar Shafie pada 17 Januari nanti.
AINUNL MUAIYANAH SULAIMAN
DEWAN SASTERA OKTOBER 07 (Sisipan Tunas Cipta)
Abah berniaga pisang goreng berdekatan rumah kami sebagai punca pendapatannya. Gerai abah sudah terlalu lama dibina. Sejak kami kecil lagi malah gerai kecil itu sudah ada ramai pembeli setia dan tetap yang tergoda dengan resipi pisang goreng abah.
Abah mengadun tepung pisang goreng dengan resipi keluarga turun-temurun. Abah randau dengan rempah terpilih. Malah abah begitu teliti memilih jenis pisang untuk digoreng menjadikan gerai pisang goreng abah begitu terkenal di kawasan kami. Kami semua membesar dengan jasa gerai pisang goreng itu.
Ketika mula-mula abah ingin membuka gerai, kami bergotong-royong membina gerai itu dengan kudrat yang sedikit. Walaupun hanya sekadar mampu mengangkat sebatang dua kayu, namun kami adik-beradik tetap mahu membantu meneguhkan pasak gerai abah.
Benar, abah tidak cukup modal mulanya. Malah abah masih berat hati mahu membuka gerai itu. Mulanya abah hanya sekadar mahu menjadi pekebun sahaja. Keluarga abahlah yang gigih menggalakkan abah membuka gerai pisang goreng yang menggunakan resipi keluarga itu. Mereka menghulurkan modal dari segi tenaga dan wang. Semuanya kerana hanya abah sahaja yang ingin memperjuangkan resipi turun-temurun pisang goreng keluarga. Kalau tidak abah siapa lagi?. Tentu bukan sesiapa kerana ramai adik-beradik abah yang merantau mencari rezeki di negeri orang dan dan tidak berminat bekerja di kampung. Abah juga yang masih setia di rumah warisan keluarga itu. Abah menjaga dan memelihara segala harta pusaka keluarga di kampung itu.
Resipi pisang goreng abah menjadikan pisang itu begitu enak dan terasa lemak. Kerak kekuningan yang menyaluti pisang goreng itu yang di gemari pembeli. Tepungnya sangat rangup dan masih bersifat begitu juga biarpun sudah sejuk. Itulah yang menjadikan pisang goreng abah unik pada darjah tersendiri
Masa berlalu dan kami semakin dewasa. Abah masih tetap tabah di gerai pisang gorengnya. Jasa gerai itulah yang menghantar kami ke menara gading. Menyara hidup kami sekeluarga. Walaupun kini abah sudah tidak perlu lagi bekerja, abah masih berdegil juga. Bagi abah gerai dan dirinya memang tidak boleh dipisahkan.
Masa juga menyaksikan kepesatan tempat kami. Pembinaan universiti berhampiran tempat kami menyumbang pembinaan kompleks membeli belah. Kompleks itu lambang kemegahan tempat kami walhal pemiliknya bukan orang kami dan lot-lot kedai di kompleks itu bukannya disewa oleh orang kampung kami. Namun orang di sini tetap bermegah dan mendabik dada apabila mampu membeli-belah di sana.
Sesekali apabila kami punya masa, kami sekeluarga akan meluangkan masa ke kompleks membeli belah itu. Membawa abah dan ibu bersama. Suatu hari, abah membeli pisang goreng yang dijual di satu kedai eksklusif yang di dekorasi indah di kompleks itu. Usai menjamah abah merungut panjang. Katanya pisang goreng di kedai eksklusif itu tidak sedap. Kami semua tergelak besar. Dalam ajnas pilihan makanan di kedai itu, pisang goreng juga yang abah pilih.
Kata abah lagi, penjual itu tidak menjual dengan niat yang benar-benar ikhlas. Menjual hanya untuk untung . Sudahlah harga pisang gorengnya mahal, pisangnya kecil dan tidak berkualiti pula. Kasihan benar pembeli. Tertipu dengan hiasan luar indah tetapi makanan tidak setanding harganya.
Prinsip abah dalam menyediakan makanan sangat optimis. Abah berpegang pada firman Allah S.W.T. dalam surah al-Nahl ayat 114 “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepadaNya saja menyembah.”
Abah sering menegaskan pada kami makanan adalah sumber pembentukan dan penguat tubuh badan yang berkait-paut dengan memelihara kesempurnaan ibadat dan kesucian hati nurani berlandaskan hadis Rasulullah “anda adalah apa yang anda makan”. Kalau sumber makanan sudah bercampur halal dan haram, hati akan bertambah gelap dan lebih cenderung menjauhi amal dan mendekati mungkar.
Kami memang terdidik sedemikian rupa. Abah begitu tegas menjaga pemakanan kami. Malah abah lebih gemar makan masakan ibu di rumah berbanding membawa kami makan di luar. Tambah abah lagi, apabila kita makan di rumah, kita lebih mengetahui penyediaan makanan kita bersih atau tidak. Malah mak digalakkan membaca doa melembutkan hati anak ketika menyediakan makanan kami.
Abah menasihati kami apabila memilih makanan biarlah teliti. Makanan itu mestilah sahih kehalalannya tanpa syubhah, berkhasiat malah penyediaan dibuat dengan berseni serta dalam suasana yang bersih. Alhamdulilah, ketegasan abah berjaya mendidik kami dalam ketelitian memilih makanan. Pulangannya, kami tidak mudah jatuh sakit dan cerdas-cerdas semua semasa proses membesar.
Ketelitian dan kata-kata abah dalam pemakanan benar-benar mengagumkan kami. Abah hanya sekadar anak kampung yang mempelajari resipi makanan daripada nenda. Rujukan abah berlandaskan al-Quran dan hadis. Lebihnya hanya terletak apabila abah gemar membaca dan kegilaannya pada buku yang diiturunkan juga kepada kami.
Sayangnya abah tidak belajar tinggi . Kalau tidak mesti abah menjadi seorang instruktor makanan bertauliah dan keluarga kami boleh menjadi kaya raya dan terkenal seperti Chef Wan , gurau kami pada waktu makan malam bersama seperti kelaziman. Abah senyum dan membalas
” Rezeki yang Allah beri sudah lebih dari cukup memberi kehidupan pada kita.”
Apabila abang Ngah menyuarakan hasrat membuka perniagaan makanan. Abah menegaskan lagi dengan firman Allah S.W.T. dalam surah Taha ayat 81 “Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaanKu menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaanKu, maka sesungguhnya binasalah ia.”
Abah bukan tidak suka abang Ngah menceburi bidang itu namun tanggungjawabnya sebagai peniaga muslim sangat besar. Abah bangga dengan kesungguhan abang ngah walaupun dalam ketegasan nasihatnya. Abah tidak mahu abang ngah melanggar etika sebagai seorang Islam dan lebih memandang keuntungan material serta mengamalkan prinsip matlamat menghalalkan cara seperti sesetengah peniaga. Perniagaan makanan itu adalah ibadah dan jangan sesekali mengkhianati diri sendiri dan ibadat kita. Abah noktahkan di situ.
Sejak kebelakangan ini, kami menyedari Tuan Teh sering datang berkunjung ke rumah kami. Abah berkenalan tanpa sengaja dengan Tuan Teh ketika sibuk mengomel pisang goreng kedai eksklusif itu. Tuan Teh adalah pemilik kedai itu. Mujur Tuan Teh tidak marah dan menerima teguran itu dengan senang hati. Semenjak hari itu Tuan Teh makin akrab dengan abah.
Mereka sering bertukar-tukar cerita di anjung rumah. Sesekali Tuan Teh mengajak abah ke kedainya atau ke rumahnya. Kami melihat kesenangan hati abah tanpa rasa curiga biarpun setitis.
Suatu petang minggu semasa kudapan abah mengejutkan kami sekeluarga.
“Abah akan bergabung niaga dengan Tuan Teh.”
Kami bertingkah pandang. Kami terkesima tanpa kata. Beberapa minit selepas itu, berhamburan soal dan hujah dari kami. Kami membantah dengan segala jutaan sangka.
Kami tegaskan Tuan Teh pasti punya agenda sendiri. Tentu dia ada kepentingan tertentu sehingga mahu mengajak peniaga kecil seperti abah bergabung niaga. Tuan Teh pasti dapat melihat keistimewaan resipi abah dan mungkin akan mencuri idea resipi abah secara diam-diam kemudian menyingkirkan abah setelah berjaya. Seisi rumah berantakan membantah rancangan abah.
Abah memandang kami satu-satu dengan pandangan yang jernih dan dalam. Abah tidak bersuara langsung. Petang itu menyaksikan abah lebih diam dari bicaranya. Kami terdera dengan sikap abah.
Keesokan harinya sebelum masing-masing berangkat pulang, kami memujuk abah lagi. Abah masih diam. Saat kami semua ingin melangkah pergi, ayah berkata dengan nada suaranya yang rendah
“Kalau tidak bergabung dengan Tuan Teh, gerai itu pasti akan terkubur juga. Tiada siapa yang mahu mewarisinya. Hanya sekadar gerai pisang goreng abah”
Sebilah belati tertusuk di di dada kami. Halus dan paling dalam
Tuan Teh makin kerap datang selepas kejadian itu. Hati kami makin bergoncang. Sungguh, kami sayang pada gerai kecil abah. Gerai itu lambang kegigihan ayah pada masa silam membangunkan perniagaannya. Kami khuatir Tuan Teh bersikap talam dua muka yang akhirnya membawa kerugian di pihak abah. Itu yang abah tidak faham.
Pada suatu petang, kami adik-beradik berkumpul di rumah pusaka itu. Ketika itu abah tiada.
“Dayus benar kalau kita sokong abah bergabung dengan Tuan Teh. ” tegas Kak Long memulakan bicara.
“Gerai itu lambang perjuangan abah dalam mempertahankan resepi keluarga. Abang ngah memang tak setuju.”
Kami membantah bersebab. Bukannya semberono sebarangan. Gerai itu abah bangunkan dengan perit jerih. Apakah Tuan Teh akan selandasan dengan prinsip abah dalam penyediaan makanan. Kami kesal juga apabila abah mudah terpengaruh pada kata-kata manis bergula Tuan Teh.
Tanpa sengaja, aku bersuara
“Kalau abah tidak bergabung, siapa yang akan menguruskan dan mewarisi gerai abah?”
Semua terdiam. Kami rasa cukup bersalah. Kata-kata abah biarpun segaris tetapi sangat terkesan dalam hati. Kak Long dan Abang Ngah sudah punya kehidupan mereka tanpa perlu bergantung harap pada gerai abah. Aku dan Uteh pula sudah berada di pusat pengajian tinggi. Bidang perniagaan bukannya dispilin ilmu kami
Akhirnya kami mengakui. Kami galak membantah tetapi kami terlupa kata-kata abah lebih benar daripada bantahan kami. Inilah silap kami, asal berkata tanpa fikir.
Abah makin sibuk mencanang cerita proses penggabungannya dengan Tuan Teh. Kami mendengar dengan rasa penuh sayu. Abah, apakah yang ada di hatimu? Tindakan abah benar-benar bercanggah dengan prinsip dan ajaran yang abah semai di hati kami. Sungai yang mengalir tenang itulah ibarat hati abah. Permukaannya tampak tenang dan mendamaikan. Gelora dan olak derita di dalamnya tidak pula kami ketahui.
Pagi itu Tuan Teh datang membawa dokumen perjanjian perniagaan bersamanya. Abah panggil kami adik beradik . Kata abah , dia mahu kami semua menjadi sebagai saksi penggabungan itu.
Semasa abah ingin menurunkan tanda tangan. Abang Ngah tiba-tiba meluru dan menghalang. Guratan warna biru gerau tergaris di belakang tapak tangan abang Ngah.
Tuan Teh tersentak. Abah terpana
“Abah, biarlah kami ambil alih gerai abah. Biarlah kami uruskan semua. Kamilah pewaris gerai itu.”
Air mata kami berhamburan saat itu. Abah renung mata abang Ngah. Abah letakkan pen itu. Di hadapan kami, abah merafak syukur.
Ini cerpen dua muka. Ada maksud dan isu semasa cerpen ini ditulis. Aku akan membiarkan pembaca cerpen ini menilai isu apa yang aku cuba bangkitkan ketika menulis cerpen ini. Cerpen ini ditulis pada bulan januari 07 ketika isu hangat di Malaysia muncul dan akhirnya perkara yang direncana itu tidak menjadi kenyataan. Sebenarnya bahagian kedua cerpen ini aku tulis semula kerana komputer dilanda virus ketika itu dan aku sebenarnya tidak tahu mana versi yang baik kerana aku agak tergesa-gesa menyiapkan penyudahan cerita ini. Sesiapa yang dapat mencari isu mana yang aku utarakan, aku akan email dia secara peribadi dan memberi peluang membaca cerpen terbaru yang aku tulis. Aku rasa cerpen ini aku banyak bermain dengan plot dan cerita daripada mengutamakan bahasanya seperti lewat cerpen Mencari Qudwah dan Rahsia Hatimu. Mungkin ketika itu aku lebih mahu menonjolkan isu berbanding dengan olahan bahasanya. Harap, kawan-kawan dapat member komentar untuk cerpen ini terutamanya orang yang meminta cerpen ini di siarkan. Cerpen ini akan di diskusikan oleh Dr Mawar Shafie pada 17 Januari nanti.